Memotret layaknya fotografer Natgeo

2 comments

"Mantaap...!"
Terdengar sayup-sayup suara dari salah satu pedagang di sebelah kiriku,
ketika aku mengambil foto di bawah ini.





F
oto di atas kuambil sehari setelah aku membaca satu dua halaman sisipan majalah National Geographic Indonesia yang kupinjam dari pustakalana di kebun Seni Tani.

Lucu sekali bagaimana otakku bekerja. Setelah sudut pandang estetika Hamada hideaki yang sudah terpatri menjadi inspirasi, kini bertambah dengan sudut pandang "kalo aku jadi fotografer natgeo, motretnya kayak gimana ya?"

Dan memang foto ini aku ambil dengan mindset as if aku beneran sebagai seorang fotografer lepas yang dapet assignment dari Natgeo untuk memotret pasar minggu di alun-alun Tegalega-Bandung, meskipun ngapain juga Natgeo pengen foto-foto dari tengah kota Bandung gini, he he he.


potret ibu penjual lalapan di pasar minggu, alun-alun Tegalega-Bandung.


Foto ibu-ibu penjual lalapan diatas pun kuambil dengan mindset yang sama. Aku berusaha mengambil angle yang kira-kira bisa menggambarkan penjual lalapan sunda yang sedang menjelaskan nama-nama lalapan ke pembeli yang bertanya.

Ada banyak macam lalapan yang dijualnya, Rp10.000 dapet 3 ikat lalapan. seingatku ada daun singkong, antanan, poh-pohan, sintrong, kucai dan yang lainnya.

Aku beli 4 ikat, ada antanan, poh-pohan, sintrong, dan tespong. Enak!




Kalo bicara yang ada sangkutannya tentang fotografi, aku akan semudah itu 'terbawa suasana'. Makanya baca Natgeo ini mudah mempengaruhiku karena keyword majalah Natgeo ini kuat banget, it always around: fotografi, storytelling, dan dokumentasi.

Sekarang, aku lagi baca tentang suku anak dalam yang ada di Jambi. Ternyata aku suka membacanya. ga nyangka. he he he...




Ga nyangkanya tuh karena kalo aku melirik majalah Natgeo, biasanya hanya akan fokus ke foto-fotonya saja dan jarang membaca tulisannya.

Tapi karena saat ini aku lagi penasaran bagaimana hubungan antara tulisan dengan foto, jadinya baca, eh ternyata suka juga.





Malah, sekarang aku berfikir... kayaknya mesti lebih sering baca tulisan-tulisan seperti ini daripada doomscrolling timeline sosial media atau sekadar dapat update apapun yang viral di sosial media tapi ga terlalu penting, malah cenderung bikin pesimis dan cemas.



Indeed, aku sepertinya harus lebih sering lagi baca majalah seperti Natgeo ini, karena selain ceritanya yang terasa hangat (entah kenapa) dan bikin optimis, juga memperkaya sudut pandang, khususnya sudut pandang yang nantinya berguna untukku dalam mendokumentasi dengan foto ataupun video.

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. ihh itu lalapan meni bikin pengen... trs aku penasaran, tespong teh apa dan rasanya gimana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Mega! how are you... long time no interaction on this platform yaaa... hehe

      suka lalapan juga kah?
      tespong itu dedaunan, rasanya aga kesat dan tidak terlalu beraroma seperti yg lainnya. suka ada di Ampera kalo ga salah si tespong ini, kalo penasaran, boleh coba melipir ke ampera atau bu Imas!

      Delete

blogging itu kadang rasanya kriik..kriiik.. tapi dengan adanya komen, even just one short saying, will mean the world! really!